Senin, 06 Januari 2014

YAKETUNIS DALAM LINTASAN SEJARAH ALQUR’AN BRAILLE DI INDONESIA



(YAYASAN KESEJAHTERAAN TUNANETRA ISLAM) 
DALAM LINTASAN SEJARAH ALQUR’AN BRAILLE DI INDONESIA

            Kaum tunanetra patut bersyukur dan bergembira serta berterimakasih  kepada pemerintah menyambut launching Alqur’an Braille yang diprakarsai oleh Balitbang dan Diklat   Kementerian Agama Republik Indonesia dalam hal ini Majlis Lajnah Petashihan Mushaf Alqur’an. Peristiwa bersejarah ini mewarnai perkembangan sejarah Alqur’an Braille di Indonesia dan menunjukkan betapa besar perhatian pemerintah dalam memenuhi kebutuhan relijius penyandang tunanetra. Dengan adanya Alqur’an Braille Utsmani tersebut Kaum Tunanetra memiliki Alqur’an sebagaimana orang Islam pada umumnya. Permasalahan perbedaan pendapat tentang Alqur’an Braille dikalangan Tunanetra boleh dikatakan terselesaikan dengan dilaunchingnya Alqur’an tersebut.  

           Sudah dimaklumkan bahwa seorang penyandang tunanetra bisa salah meniti jalanan, terantuk benda yang merintang di depannya, bahkan terjatuhpun bisa dialami. Kegelapan pandangan menatap warna dunia ini memang sudah menjadi takdir dari Yang Maha Kuasa karena tunanetra tercipta dengan mengalami disfungsi penglihatan. Namun, bukan berarti tunanetra juga harus buram dalam mengenal sejarah khususnya tentang Alqur’an Braille di Indonesia. Karena mata hati dan fikiran lebih jernih dari pada pandangan indra mata. Sejarah adalah sebuah peristiwa yang nyata  tidak boleh salah atau dimanipulasi. Dalam kesempatan ini, kami memandang perlu untuk sekaligus pemerintah juga menelusur kembali sejarah Alqur’an Braille di Indonesia.

        Tulisan ini dimaksudkan untuk meluruskan catatan yang masih “bengkok”  tentang sejarah Alqur’an Braille di Indonesia. Bukan untuk mencari sensasi atau  apapun namanya, kecuali hanya ingin menampilkan fakta yang tidak membohongi generasi bangsa.

Sejarah Masuknya Alqur’an Braille ke Indonesia
Menurut Bapak Moch. Solichin, BA (Wakil Ketua Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam Yogyakarta) bahwa kemungkinan Alqur’an Braille masuk ke Indonesia tahun 1956 hal ini berdasarkan bukti tanda-tangan Prof. DR. Mahmud Syaltut yang tertera pada sampul Alqur’an Braille terbitan Yordania tahun 1952. Bapak KH. Syukri Ghozali (Ketua MUI dan aggota Majlis Lajnah Pentashihan Alqur’an) di sela-sela Muker ke III Majlis Lajnah Alqur’an di Jakarta,  menjelaskan bahwa Prof. Dr. Mahmud Syaltut berkunjung ke Indonesia tahun 1959. Bapak Moch. Solichin menambahkan Alqur’an Braille tersebut kemungkinan tidak dibawa langsung oleh Prof. Dr. Mahmud Syaltut tetapi setelah ditandatangani baru kemudian dikirimkan ke Perpustakaan Braille Wiyata Guna Bandung. Peristiwa ini dapat dijadikan sebagai awal mula masuknya Alqur’an Braille ke Indonesia.
Pada saat itu kaum tunanetra di Indonesia belum ada yang mengetahui bahwa ada Alqur’an Braille di perpustakaan tersebut karena tunanetra di Indonesia belum ada yang mengenal huruf Arab Braille.
Di Yogyakarta, pada tahun 1940an Supardi Abu Shomad seorang tunanetra belajar mengaji di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Sebagai tunanetra, dalam belajar waktu itu secara hafalan dan banyak tergantung dengan orang awas. Bapak Kyai memerintahkan kepada santrinya untuk membimbingnya. Dalam membimbing menghafal  Alqur’an santri minta imbalan seperti memijat, menimbakan air untuk mandi, bahkan pernah juga jatah makan dibagi dua. Waktu itu Bapak Supardi memikirkan keberadaanya sebagai tunanetra dan timbul gagasan hendaknya ada suatu alat atau apa yang bisa digunakan untuk membantu tunanetra dalam membaca sehingga tidak selalu bergantung kepada orang lain. Meskipun tidak begitu lama di pondok pesantren, beliau berhasil menghafal surat-surat pendek, ayat Kursi, surat Yasin, doa-doa, dan lain-lain. Setelah Indonesia merdeka, beliau mengikuti pelatihan tunanetra dipenampungan RS. Mata dr. YAP yang sekarang menjadi Yayasan Mardi Wuto Jalan C. Simanjuntak No. 2 Yogyakarta (Sekarang di jalan Cik Ditiro). Di panti tersebut, beliau berhasil mempelajari huruf Braille latin. Pada tahun 1959, beliau bekerja di Kantor Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Jalan. P. Mangkubumi No. 46 Yogyakarta yang sekarang menjadi Arjuna Plaza. Beliau bertugas melatih biola dan olahraga catur. Sebagai tunanetra muslim, beliau rajin mengerjakan sholat dan sering membaca Alqur’an secara hafalan. Hal itu diketahui oleh Bapak Arif Dirjen Rehabilitasi Penyandang Cacat Kementerian Sosial Republik Indonesia. Sewaktu beliau berkunjung ke Perpustakaan Braille Wiyata Guna Bandung, beliau melihat ada Alqur’an Braille yang belum terjamah oleh tunanetra. Maka Alqur’an tersebut beliau ambil kemudian diberikan kepada Bapak Supardi Abdu Shomad di Yogyakarta pada tahun 1963. Peristiwa ini bisa disebut sebagai awal masuknya Alqur’an Braille ke Yogyakarta. Namun, menurut kertas kerja Bapak H.R Rasikin yang dibacakan dalam Muker ke-III tahun 1977 sesuai wawancara beliau yang ditulis dalam skripsi  Ahmad Saifudin,  Alqur’an Braille (sejarah dan kaidah Penulisan Alqur’an Braille di Indonesia) tahun 2007 hal 31: Menurut pihak Wiyata Guna peristiwa ini terjadi pada tahun 1956 dan informasi dari pihak Yaketunis Yogyakarta Alqur’an Braille tersebut baru diterima oleh Supardi Abdusshomad pada akhir tahun 1963. Sementara menurut H. Abdullah Yatim Piatu, dihalaman 32 skripsi tersebut disebutkan bahwa Bapak Abdullah Yatim Piatu masih melihat Alqur’an Braille itu di perpustakaan Wiyata Guna Bandung pada tahun 1957.
Menurut analisis Ahmad Saifudin dalam skripsi tersebut berdasarkan tiga informasi itu waktu yang memungkinkan dipindahkannya Alqur’an Braille ke Yogyakarta adalah antara 1959 sampai 1963, sedangkan pendapat yang menyebutkan tahun 1956 sangatlah lemah.
Menerima Alqur’an tersebut, Bapak Supardi Abdu Shomad sangat gembira karena apa yang menjadi gagasanya akan terwujud. Setelah membuka Alqur’an tersebut, beliau tidak dapat membacanya karena belum mengenal huruf Arab Braille. Dengan membawa Alqur’an tersebut dan mesin ketik Braille beliau datang ke Perpustakaan Islam jalan Pangeran Mangkubumi Nomor 38. Bapak H. Muqodas Kepala Perpustakaan Islam mengetahui ada seorang tunanetra yang datang dan beliau memerintahkan kepada stafnya Bapak H. Moch. Sholichin, BA agar memberikan uang kepada Bapak Supardi Abdu Shomad. Keesokan harinya, Bapak Supardi Abdu Shomad  datang kembali dan diberi uang lagi. Pada hari ketiga beliau datang dan sewaktu akan diberi uang beliau menjelaskan bahwa kedatanganya untuk minta bantuan membacakan Alqur’an Braille yang dibawanya. Hal itu mendapat sambutan baik dari Perpustakaan Islam dan Kepala Perpustakaan menugaskan Bapak H. Machdum dan Bapak H. Moch Solichin, B.A. untuk membantu memahami Alqur’an Braille tersebut. Dalam Alqur’an Braille terbitan Yordania tahun 1952 di halaman pembuka tercantum abjad  Braille Al-Kitabah al-Arobiyah An Nafiroh  lengkap dengan  syakal dan tanda bacanya disahkan oleh UNESCO tahun 1951 dalam tulisan cetak biasa (dengan tinta/bukan Braille). Dari situlah diketahui bentuk-bentuk tulisan Arab Braille. Meskipun dihalaman ini ada panduan membaca Alqur’an Braille tersebut, namun kedua staf perpustakaan ini masih menemui kesulitan dalam membaca isi Alqur’an Braille tersebut. Sampai suatu ketika ada dua orang mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga yaitu Fuadi Aziz dan Darma Pakilaran yang kebetulan berada di perpustakaan tersebut tertarik untuk ikut mempelajari dan membantu Bapak Supardi Abdu Shomad.  Mereka berasama-sama kemudian meneliti huruf demi huruf, syakal demi syakal kemudian terbaca kata demi kata dan akhirnya terbaca ayat demi ayat dalam alqur’an Braille tersebut. Proses penelitian ini sangat terbantu dengan hafalan surat yasin yang dimiliki bapak Supardi Abdus Shomad, sehingga mempercepat  dalam penguasaan membaca Alqur’an Braille. Dari hasil penelitian ini kemudian ditemukanlah kaidah penulisan Arab Braille yang kemudian dijadikan pedoman untuk membaca dan menulis Alqur’an Braille.
Dengan modal Alqur’an Braille Bapak Supardi mengajak beberapa tokoh muslim di Yogyakarta antara lain Bapak H. Muqodas (Kepala Perpustakaan Islam), Bapak H. Moch Sholichin (Staf Perpustakaan Islam), Bapak Drs. H. M. Margono Puspo Suwarno (Guru PAI SMPLB-A Gunajaya Yogyakarta), H.M Hadjid Busyairi (Guru PAI SLB-A Citajaya Yogyakarta), Bapak H. Haiban Hadjid (Tokoh Muslim Kauman Yogyakarta), Bapak DR. Chumaidi (Dosen IKIP Negeri Yogyakarta), Bapak Dr. Ahmad Zaidun Ruslan (Guru SGA Muhammadiyah Yogyakarta), Bapak Moch. Ghowi, Bapak H. Farid Ma’ruf (Staf Urusan Haji Kementerian Agama RI), Bapak Prof. Drs. Fathur Rahman (Dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Fuadi Aziz (Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga), Bapak Machdum (Staf Perpustakaan Islam), Ibu Hj. Wajid Hamidi (tokoh masyarakat), Ibu Hj. Yasin (tokoh masyarakat), dll untuk mendirikan Yayasan Muslim yang menyantuni penyandang cacat dan akhirnya berdirilah Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam pada tanggal 1 Muharram 1383 H/ 13 Mei 1964 dengan ketua Bapak Supardi Abdu Shomad dan wakilnya Bapak H. Moch Sholichin, BA.
Bapak Supardi Abdu Shomad dan Bapak Moch Sholichin juga memprakarsai berdirinya Pendidikan Guru Agama Luar Biasa Negeri Bagian Tunanetra di Yogyakarta tahun 1967 atas rekomendasi dari Departemen Agama RI. Beliau pulalah yang menjadi Kepala Sekolah tersebut. Pada tahun 1975 beliau sakit dan beliau wafat tahun 1979 di Krapyak lor Yogyakarta dan dimakamkan disana.
Kegiatan pokok Yayasan kesejahteraan Tunanetra Islam Yogyakarta  menyelenggarakan Pendidikan dan Penerbitan Alqur’an Braille. Di bidang pendidikan, Yaketunis menyelenggaran SLB/A dan PGAP LB/A yang kemudian berubah menjadi MTs LB/A tahun 1976. Bagi tunanetra yang mengikuti pendidikan integrasi (inklusi) di Madrasah Aliyah, PGAL, SPG, SMA dan Perguruan Tinggi masih bisa menjadi anak asuh di Yaketunis. Disamping pendidikan formal, Yaketunis juga menyelenggarakan kursus Agama Islam, Baca Tulis Arab dan Latin Braille serta Alqur’an Braille. Tahun 1976 sampai dengan 1979 Yaketunis menyelenggarakan Pondok Pesantren Ramadhan setiap bulan Ramadhan. Masing-masing angkatan kurang lebih dua puluh lima peserta dan setelah selesai, masing-masing santri dibekali satu set Alqur’an Braille.
Siswa Yaketunis berasal dari berbagai daerah di Indonesia diantaranya: Aceh, Medan, Padang, Palembang,Banten, Jakarta, Bandung, Surabaya, Mataram, Kupang, Ujung Pandang, Samarinda, Banjarmasin dan lain-lain.

Penerbitan Alqur’an Braille Pertama di Indonesia
Menurut bapak Abdullah Yatim Piatu dari Yayasan Penyantun Wiyata Guna Bandung beliau pernah menulis Alqur’an Braille Juz I pada tahun 1959, tetapi tidak disosialisasikan kepada siapapun. Pada tahun 1963 Bapak Drs Margono Pusposuwarno (Guru PAI SMPLB-A Gunajaya) menulis Alqur’an Juz I dan Juz XXX menggunakan huruf latin Braille untuk kepentingan mengajar PAI kepada siswanya.
Tahun 1964, Yaketunis mulai menerbitkan Alqur’an Braille menggunakan mesin perkins untuk kepentingan sendiri dan diberikan kepada beberapa tunanetra yang membutuhkan. Alqur’an terbitan Yordania tidak menggunakan harakat isbaiyah dan tidak ada tanda waqaf. Sehingga Yaketunis berusaha untuk dapat menulis Alqur’an sebagaimana Alqur’an di Indonesia pada umumnya.
Untuk kepentingan pengembangan tulisan Arab Braille ini, serta guna menjajagi kemungkinan-kemungkinan penggunaannya baik secara nasional maupun internasional, maka Yaketunis mengadakan  kontak dengan beberapa negara Islam antara lain:
a.    Al Haiatul 'Ilmiyah Al Islamiyah di Yordania
b.    The National Federation for the Welfare of  the blind di Karachi, Pakistan
c.    Al Maktab Al Iqlimiy lilajnatisysyarqil ausath lisyu-unil makfufin di Saudi
       Arabia.
d.    Al Markazu Annamudzajiy lirri'ayah Wataujihil makfufin, Zaitun.
Pada tahun 1966, Yaketunis menerima Alqur’an Braille dari Pakistan yang telah menggunakan harokat isyba’iyah,  tanda  waqaf dan tanda mad untuk fawatihus suwar. Dengan demikian hal ini semakin menunjang  penyempurnakan Alqur’an terbitan Yaketunis.
Dari hasil penelitian tentang penulisan Alqur’an Braille di beberapa Negara Islam tersebut diatas menggunakan rasm yang sama yaitu mengikuti kaidah nahwiyah. Hal ini merupakan kesepakatan ulama timur tengah. Dengan demikian kertas kerja HR. Rasyikin yang disampaikan dalam Muker ke III tahun 1977, bahwa UNESCO mencetak Alqur’an Braille dengan rasm Utsmany dan dikirim ke Negara-negara Islam termasuk Indonesia perlu diuji kebenarannya. 
Berdasarkan contoh-contoh tulisan Arab Braille dari beberapa negara Islam itulah, maka Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (YAKETUNIS) memberanikan diri menulis Al Qur'an dan menerbitkannya Alqur’an braille. Kementerian Agama RI mendukung langkah-langkah Yaketunis dengan menugaskan 16 PNS untuk penerbitan Alqur’an Braille.  Sejak saat itu, Yaketunis mulai mengirimkan Alqur’an Braille kepada beberapa lembaga pendidikan tunanetra di Indonesia.
Bapak Drs Fuady Azis menyusun buku pedoman penulisan arab braile qawa’idul Imla’ Lil  kitabati al ‘arabiyati annafirati jilid I tahun 1969, dan ini merupakan buku pedoman penulisan Arab Braille pertama di Indonesia.
Perkembangan Alqur’an Braille mendapatkan respons positif dari pemerintah maupun masyarakat pengguna. Pada tahun 1971 Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, mentashih Alqur’an terbitan Yaketunis. Yaketunis juga mengirimkan dua Juz yakni juz 1 dan juz 30 ke Arab Saudi untuk ditashih. Koreksi dari Arab Saudi adalah dalam hal penulisan lafald Arrahman
 (  AL,R1:3MANE )
dibetulkan dengan
(   AL,R1:3M@NE)
Selanjutnya Depag RI. memberikan bantuan tambahan  karyawan hingga mencapai 56 PNS  dan biaya operasional. Pada tahun 1973, Yaketunis mendapatkan bantuan tiga buah Braille electric machine corporation dari Departemen Agama Republik Indonesia. Mesin ketik tersebut bentuknya seperti mesin ketik biasa namun menghasilkan huruf Braille dan menggunakan listrik. Hal itu manambah kapasitas dalam penerbitan Alqur’an Braille. Pada tahun 1974, Pemerintah memberi bantuan thermoform bantuan dari Departemen Agama RI. Secara berturut-turut tahun 1974 – 1977 Yaketunis menerbitkan Alqur’an Braille setiap tahunnya kurang lebih 250 set Alqur’an dengan anggaran proyek pengadaan kitab suci Alqur’an. Alqur’an dikirim keseluruh lembaga tunanetra di Indonesia bahkan sampai ke Malaysia. Pada tahun 1976 Pemerintah Malaysia mengirimkan dua orang tunanetra melalui Yayasan Tengku Abdurrahman untuk belajar Alqur’an Braille di Indonesia, kemudian Pemerintah RI dalam hal ini  Departemen Agama RI memberikan beasiswa kepada dua orang tunanetra tersebut yaitu: Muhammad Nur bin Awang Ngah dan Hamzah bin Ammah untuk mempelajari Alqur’an Braille di Yaketunis selama dua tahun.
Pada tanggal 5-9 februari tahun 1974 ulama Alqur’an di Indonesia menyelenggarakan Musyawarah Kerja I di Ciawi Bogor. Hasil Muker menyatakan bahwa Alqur’an di Indonesia tidak boleh di tulis selain dengan rasm utsmaniyah,  kecuali dalam keadaan darurat. Yang dimaksud darurat adalah Alqur’an sudut/pojok dan Alqur’an Braille. Dengan fatma ulama tersebut berarti alqur’an Braille memiliki landasan hukum untuk ditulis selain dengan rasm Utsmanyah
Bapak Moch Sholihin pernah mengatakan bahwa Yaketunis akan diberi hak paten untuk penerbitan Alqur’an Braille oleh Departemen Agama karena sudah sepuluh tahun menerbitkan Alqur’an Braille.
Dalam berbagai kesempatan Yaketunis mensosialisasikan Alqur’an Braille kepada masyarakat melalui even-even antara lain 1965 mengirimkan qori Warida Nur dalam Konferensi Islam Asia Afrika di Bandung, dalam setiap acara sekaten di alun-alun utara Yogyakarta sejak tahun 1965 hingga sekarang, pameran dalam MTQ Nasional tahun 1972 dan 1973. Dengan Qori yang mendemonstrasikan adalah saudara Suripto . Dalam MTQT di bandung tahun1974 dengan beberapa qori membaca Alqur’an Braille terbitan Yaketunis dan Yaketunis menjadi juara Umum.  Di tahun ini juga Yaketunis mengirimkan qori Husni Rozali dan Qoriah Sri Setiaari, keduanya tampil dengan membaca Alqur’an Braille. Sri Setiari meraih juara ke -3. Sesuai dengan hasil rapat dewan juri atas usulan Bapak Moch Solihin (pimpinan Yaketunis) bagi peserta tunanetra yang menggunakan Alqur’an Braille diberi tambahan nilai 2 point. Tahun 1976 Sri Setiari kembali mengikuti MTQ di Samarinda meskipun tidak menjadi juara. Tahun 1978 di Semarang pada MTQ Nasional Golongan Tunanetra dikirim  Tumirah. Tahun 1979, dikirimlah Yahya Hanafiyah di Aceh mendapat juara1. Tahun 1990 dikirikan Moh. Farhan dan Sarjinah di Yogyakarta. Tahun 2006, 2008, 2010, 2012 Ali Affandi secara berturut dikirim dalam MTQ golongan Tunanetra utusan dari D.I. Yogyakarta.
Dalam rangka menunjang pembelajaran Alqur’an Braille, Yaketunis juga bekerja sama dengan AMM (Angkatan Muda Masjid dan Mushola) Yogyakarta untuk menerbitkan buku Iqro’ Braille. Bahkan telah dilaunching tahun 2006 di Alun- alun Utara Yogyakarta bersamaan dengan acara Pemecahan Rekor Muri dalam Mendongeng.
Kemudian pada tahun 2011, bekerja sama dengan UMMI Foundation Surabaya menerbitkan 6 jilid buku panduan membaca Al-quran ditambah buku tajwid dan Gharaibul Qur’an.

Penerbitan Alqur’an Braille Rasm Utsmani di Bandung
H Kasyful Anwar (bukan tunentra) seorang mantan bupati di Banjarmasin membaktikan dirinya di Yayasan Wiyataguna  Bandung mempelopori penerbitan Alqur’an Braille. Adapun penerbitan Alqur’an Braille di Bandung dimulai pada tahun 1976 oleh Badan Pembina Wyata Guna dengan alat seng plat atau Braille press menggunakan kertas padalarang. Kegiatan tersebut terinspirasi oleh adanya Musabaqoh Tilawatil Qur’an Tunanetra tahun 1974 di Wyata Guna Bandung. Menurut HR Rasikin, kebanyakan peserta MTQT membaca secara hafalan (padahal saat itu  peserta dari Yaketunis dan alumninya  sudah menggunakan Alqur’an Braille terbitan Yaketunis). Wyta Guna kemudian menyusun konsep Alqur’an Braille dengan rasm ustmaniah dengan alasan memenuhi fatwa Ulama pada Muker I tahun 1974 yang menyebutkan bahwa Alqur’an di Indonesia tidak boleh ditulis selain dengan rasm Utsmaniyah. Perlu dicatat bahwa dalam fatwa tersebut ada pengecualian terhadap keadaan darurat. Menurut Bapak KH. Sukri Ghozali yang disebut darurat adalah Alqur’an pojok dan Alqur'an Braille, nampaknya hal ini dibaikan oleh pihak Wyata Guna Bandung sehingga menimbulkan pemahaman Alqur’an Braille pun harus ditulis dengan rasm Utsmaniyah.  Alqur’an terbitan pertama Wyata Guna  adalah juz 30 dengan terjemahannya yang kemudian dikenalkan kepada Yaketunis oleh Bapak H. Kasyful Anwar, HR. Rasikin SM.HK., H. Nagen Anwar Huda, SM.HK. dan Abdullah Yatim Piatu. Beberapa hal yang mengherankan dari Alqur’an Braille terbitan Bandung ini adalah penulisan hamzah dalam lafadz ulaaika ditulis dengan hamzah diatas wawu (  \UL@[yEK1 )
Dan tanda tasydid pada awal kalimat sebagai tanda idzghom ditulis dengan titik ke 6 sama dengan tanda huruf besar dalam huruf latin. Sementara penulisan yaketunis ulaaika ditulis (/WL@YEK1  ) sedangkan tanda tasydid titik ke enam di awal kalimat sebagai tanda idzghom tidak ditulis dengan alasan mengikuti alqur’an internasional.
Dengan terbitnya Alqur’an Braille Ustmaniyah Wyata Guna Bandung, maka di Indonesia terdapat dua macam versi penulisan yaitu rasm Utsmaniyah dan rasm Imlaiyah yang ditulis oleh Yaketunis
Tunanetra Indonesia sejak adanya Alqur’an Braille tahun 1964 hingga tahun 1976 tidak ada permasalahan, namun adanya Alqur’an braille Utsmani terbitan Wiyataguna menimbulkan permasalahan di kalangan tunanetra karena ada perbedaan penulisan dengan Alqur’an Braille terbitan Yaketunis.

Penggunaan  Rasm Utsmani untuk Alqur’an Braille
Pada tahun 1951, PBB dalam hal ini UNESCO mengesahkan abjad hijaiyah dan tanda syakal tetapi tidak menentukan bentuk rasm penulisan Alqur’an Braille. Alqur’an Braille terbitan Yordania ditulis dengan rasm imla’i atau menurut kaidah nahwiyah. Begitu pula Alqur’an Braille terbitan Pakistan tahun 1962 juga menggunakan rasm imla’i. Alqur’an terbitan Arab Saudi tahun 1997, rasm nya juga imla’i. Penulisan ayat-ayat Alqur’an yang terdapat dalam majalah syahriyah al-fajr dari Mesir, juga mengikuti rasm imla’i. Di Indonesia Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (YAKETUNIS) sebagai penerbit Alqur’an pertama menggunakan dasar Alqur’an Braille terbitan Yordania dan Pakistan. Sistem penulisanya sama dengan Alqur’an Braille Internasional.
Sesuai dengan fatwa Ulama dalam Muker ke I di Ciawi tanggal 5-9 Februari 1974, bahwa Alqur’an di Indonesia  tidak boleh ditulis selain dengan rasm utsmaniyah, kecuali dalam keadaan darurat. Yayasan Penyantun Wiyata Guna menyatakan bahwa telah menulis Alqur’an Braille dengan rasm utsmaniyah pada tahun 1976 dan inilah pertama kali penulisan Alqur’an Braille dengan rasm utsmani. Hal itu disampaikan kepada Departemen Agama RI. Mensikapi hal ini Departemen Agama RI memberikan kesempatan kepada Yaketunis Yogyakarta dan Yayasan Penyantun Wiyata Guna Bandung untuk menyampaikan makalah dalam Muker ke II di Cipayung tanggal 21-24 Februari 1976 dengan judul “Dapatkah Tanda Baca Arab Braille diterapkan dalam Rasm Utsmaniyah?”. Adapun kesimpulanya adalah tanda baca Arab Braille dapat digunakan untuk menulis Alqur’an Braille Rasm Utsmani.

Alqur’an Braille Standar Indonesia
Sebagai tindak lanjut, Departemen Agama RI menyelenggarakan Muker Ke III di Wisma Tirta Jakarta tanggal 7-9 Februari 1977 untuk menyeragamkan Alqur’an Braille di Indonesia. Melalui pembahasan yang cukup alot, akhirnya penulisan Alqur’an Braille dengan rasm utsmaniyah dapat disetujui  dan mencapai keputusan sebagai berikut:
A.     Sistem Penulisan
1.       Penulisan Alqur’an Braille secara rasm utsmani dapat disetujui, hal yang menyulitkan bagi tunanetra dipermudah dengan penulisan rasm  imlaiyyah.
2.       Penulisan alif maqsurah disesuaikan dengan Alqur’an awas dan mengikuti pedoman pentashihan
B.     Tanda Baca Alqur’an Braille
1.       Harakat fathatain diletakkan pada huruf yang memilikinya.
2.       Tanda mad jaiz, mad wajib, mad lazim musaqqal kilmi/ harfi digunakan seperti pada Alqur’an awas.
3.       Penulisan lafal Al-Jalalah disesuaikan dengan Alqur’an awas yaitu Alif lam tasydid lam fathah isbaiyah dan ha.
4.       Penempatan huruf-huruf yang tidak berfungsi mengikuti Alqur’an awas, dengan memberikan harokat pada huruf sebelumnya.
5.       Ta’anuqul waqof menggunakan titik 3-6, dan 2-3-4-5. ( -T ) 
6.       Tanwin washol disesuaikan dengan penulisan Alqur’an Bahriyah, tanpa menuliskan nun kecil.
7.       Tanda tasydid pada huruf pertama untuk idgham tidak diperlukan.

C.     Pembentukan Tim
Tim terdiri dari:
1.      Majlis Lajnah Pentashih Mushaf Alqur’an 3 orang yaitu : KH. Syukri Gazali, H. Sawabi Ihsan, MA. dan E. Badri Yunardi, BA.
2.      Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam Yogyakarta 3 orang yaitu: H. Moh. Solichin, Drs. Fuadi Aziz, M. Nadjamuddin, BA.
3.      Lembaga Pendidikan dan Rehabilitasi Tunanetra Wyata Guna Bandung 3 orang yaitu: KH. Kasyful Anwar, Abdullah Yatim Piatu, Anwar Huda Nagen SM. HK. (dalam perjalanan kerja Tim, Anwar Huda Nagen(1977) diganti Drs. H. Ahmad Basysri Nur Sikumbang (1978) kemudian diganti Drs. H. Aan Zuhana (1978)  sampai selesai)
Yang akan bekerja :
1.      Merumuskan rencana pedoman pentashihan Alqur’an Braille
2.      Merumuskan bahan Alqur’an Braille Induk, dalam rangka Muker IV

      Muker ke III inilah yang dianggap sebagai Muker yang sangat vital dalm penentuan penulisan Alqur’an Braille di Indonesia. Dalam muker ini terjadi perdebatan yang cukup alot tentang beberapa masalah seputar penulisan Alqur’an Braille di Indonesia. Tema yang diangkat dalam Muker ini adalah penyeragaman penulisan Alqur’an Braille di Indonesia. Alasanya, karena YAketunis Yogyakarta sudah mencetak Alqur’an Braille mulai tahun 1965, rasm yang digunakan adalah rasm imla’I, sedangkan Yayasan Penyantun Wyata Guna Bandung mencetak Alqur’an pada tahun 1976 menulis dengan menggunakan rasm ‘utsmani.
      Alasan Yaketunis mempertahankan rasm imla’i adalah penulisan yang dilakukan mengikuti standard penulisan Alqur’an Braille Internasional seperti Alqur’an Braille terbitan Yordania dan Pakistan. Dengan penulisan secara imla’I juga dapat memudahkan para tunanetra dalam mempelajari ilmu-ilmu yang terkait dengan huruf Arab Braille, seperti: Bahasa Arab, Hadits, Fiqh, Tafsir dan sebagainya.
      Sedangkan alasan Wyata Guna Bandung adalah penggunaan rasm usmani dilakukan karena mendasarkan pada hasil Muker ke I yang menyebutkan penulisan Alqur’an Braille di Indonesia harus menggunakan rasm ‘usmani dan menurut pihak ini juga tidak ada keharusan untuk mengikuti Alqur’an luar negeri, justru kalau Indonesia memiliki kaidah penulisan tersendiri mungkin akan dijadikan mercusuar penulisan Alqur’an Braille di dunia.
      Alasan Wyata Guna yang mendasarkan pada Muker I  ini mereduksi hasil keputusan Muker yang mengecualikan “keadaan darurat”. Alqur’an Braille bisa masuk kategori darurat tetapi hal ini diabaikan oleh Wyata Guna Bandung.
     
      Dalam Muker ke IV, di Ciawi tanggal 15-17 Maret 1978, hasilnya adalah:
a. Menerima hasil rumusan Team Penulisan Al-Qur’am Braille yang dilaksanakan sampai dengan juz X sebagai standard Alqur’an Braille di Indonesia dengan catatan penyempurnaan dalam rumusan yang lebih representative serta dilengkapi dengan pembuatan index
b. Perlu dilanjutkan penulisan Alqur’an braille (standard) untuk juz berikutnya XI-XXX
c. Team menyempurnakan pedoman penulisan Alqur’an Braille dan Penyususnan Sejarah Perkembangan Alqur’an Braille di Indonesia.

Dalam Muker ke V, di Jakarta tanggal 5-6 Maret 1979 mengasilkan:
a. Rumusan Penulisan Alqur’an Braille dan Pedoman Penulisannya merupakan pegangan atau acuan.
b. Hal-hal baru dari hasil penulisan juz XI-XXX perlu dihimpun untuk diteliti.
c. Team memperbaiki Alqur’an Braille 30 Juz berdasarkan rumusan-rumusan tersebut pada angka I
d. Tanda-tanda waqaf  yang telah disepakati untuk penulisan Alqur’an (standard) perlu diteliti oleh Lajnah dalam konsistensi penempatannya.
e. Dengan semakin banyaknya upaya penerjemahan Alqur’an, Lajnah perlu menginventarisir terjemahan ayat-ayat yang belum tepat untuk disesuaikan berdasarkan kitab-kitab maraji’ atau rujukan yang mu’tamat

Dalam Muker ke VI, di Ciawi tanggal 5-7 Januari 1980, hasilnya:
1.      Menyeragamkan dan menyederhanakan penggunaan 12 tanda waqaf pada Alqur’an menjadi lima macam ditambah dua yaitu mim, lam alif, jim, shod lam ya dan qof lam ya.
2.      Dalam Alqur’an Braille, cara menuliskanya disesuaikan dengan peraturan Arab Braille. Untuk Shod lam ya ditulis huruf shod saja dan qaf lam ya ditulis tho’ sebab kalau ditulis qaf mempunyai arti lain. Serta ditambah saktah dan ta’anuqulwaqf.
3.      Menyetujui pedoman dan pentashihan Alqur’an Braille yang disusun oleh Team dan Lajnah.

Dalam Muker Ke VII, di Ciawi tanggal 12-14 Januari 1981, kalimah yang menggunakan Ya atau Alif Zaidah ditulis dengan rasm imla’i seperti afain dan malaihi dan lain-lain.

Dalam Muker ke VIII, di Bogor tanggal 22-24 Februari 1982.
a. Menyetujui draf Pedoman penulisan Alqur’an Braille sebagai Pedoman Penulisan Alqur’an Braille
b. Menyempurnakan tanda-tanda baca dan cara penulisan juz 1-30 sebagai contoh Alqur’an Braille standar di Indonesia.
Dalam Muker IX, di Jakarta tanggal 18-20 Februari 1983, menyetujui hasil penulisan Alqur’an Standar Utsmani sebagai Alqur’an Standar Indonesia (untuk awas), dan tidak membahas tentang Alqur’an Braille.
Dalam Muker ke X, di Jakarta tanggal 28-30 Maret 1984, penetapan Alqur’an Standar di Indonesia baik rasm utsmani dan Bahriyah (untuk orang awas) maupun Alqur’an Braille (untuk tunanetra)
Menyambut baik dikeluarkannya  Keputusan Menteri Agama Nomor. 25 tahun 1984 tentang penetapan Alqur’an Standard dan menetapkannya sebagai pedoman dalam mentashih Alqur’an.
Dengan demikian, Indonesia telah mempunyai Alqur’an Braille Standar. Hal ini menunjukkan perhatian Pemerintah Indonesia terhadap umat islam termasuk tunanetra. Pantas disyukuri, disertai harapan akan kepedulian pemerintah dalam pendidikan dan pengamalan Agama bagi tunanetra.

Perkembangan Alqur’an Braille Pasca KMA No. 25 Tahun 1984
Adanya SK. Menteri Agama Nomor. 25 tahun 1984 semestinya sudah tidak ada perbedaan lagi Alqur’an Braille yang beredar di Indonesia. Namun kenyataannya, masih terdapat beberapa perbedaan penulisan Alqur’an Braille yang beredar di Indonesia. Menurut Yaketunis, Alqur’an Braille standard adalah Alqur’an Internasional sebagai  dasar penulisan Alqur’an Yaketunis yang kemudian direvisi dengan lampiran KMA no. 25 tersebut yaitu Alqur’an induk yang dibuat oleh Tim penyeragaman Alqur’an Braille juz 1 -30.
Pasca KMA ini, Yaketunis menerbitkan Alqur’an berpedoman pada Alqur’an induk. Dengan menggunakan computer Braille tahun 1999 terselesaikanlah juz 1sampai  Juz 30, namun untuk sementara guna memenuhi kebutuhan kalangan sendiri diterbitkanlah Juz 1 dan 30.  Alqur’an ini ternyata masih ada perbedaan dengan Alqur’an terbitan Wyata Guna. (Hingga tahun 2013 Yaketunis belum menerbitkan kembali Alqur’an Braille).
Yayasan Rhoudlatul makfufin Jakarta yang didirikan oleh Alumni Yaketunis, menerbitkan Alqur’an Braille dengan mencontoh terbitan Wyata Guna dengan mengadakan perubahan.  Alqur’an ini memberi harokat kasroh dan dhommah untuk hamzah washol diawal ayat. Alqur’an Braille dengan komputerisasi ini adalah yang pertama di Indonesia pada tahun 1999.

Memperhatikan Alqur’an Braille terbitan Wyata Guna Bandung ternyata tidak berpedoman kepada Alqur’an Induk hasil Tim Penyeragaman Alqur’an Braille. Sepertinya Wyata Guna berpedoman langsung kepada Alqur’an Utsmani (untuk orang bukan tunanetra). Padahal semestinya antara Alqur’an Utsmany, Alqur’an Bahriyah dan Alqur’an Braille punya pedoman masing-masing. Hal ini menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi warga tunanetra.

Tahun 2007 ITMI menyelengggarakan seminar Lokakarya dan raker di Babagansari Bandung. Dalam seminar ini antara lain disampaikan makalah oleh Drs. Dayudin tentang karakteristik rasm Utsmaniyah dan M. Nadjamujddin menyampaikan tentang sejarah Alqur’an Braille di Indonesia. Kemudian dalam lokakarya dengan peserta kurang lebih 70 orang tersebut, Muh Roji’in (yang sekarang menjabat Ketua Majlis Pertimbangan Pusat ITMI) menyampaikan  bahwa dalam lokakarya peserta dibagi menjadi tiga kelompok, pada masing- masing kelompok diminta untuk membaca membandingkan antara Alqur’an Wyata Guna dan Yaketunis, mereka semua menyatakan Alqur’an terbitan Wyata Guna sukar dan Alqur’an terbitan Yaketunis mudah.
Pada tahun ini juga BPBI Abiyoso merencanakan menerbitkan Alqur’an dan meminta  tanda pentashihan kepada  Majlis Lajnah,  Kemudian diadakan pertemuan antara Majlis Lajnah BPBI dan ITMI untuk menetapkan standar pentashihan, Pertemuan dimoderatori oleh Yudi Yusfar dan disaksikan oleh Bapak Endang Sudrajat dari Lajnah. Akhirnya  diputuskan bahwa pentashihan alqur’an Braille untuk penulisan hamzah mengikuti kaidah nahwiyah rasm imlaiyah. M. Nadjamuddin termasuk anggota pentashihan minta salinan surat keputusan  tersebut. Setelah lama menunggu, M. Nadjamudin baru mendapatkan salinan tersebut pada    tahun 2008. Dalam surat keputusan itu ternyata tidak tercantum tentang kaidah penulisan huruf hamzah, maka M. Nadjamuddin berkirim surat kepada BPBI. Direktor BPBI memberikan jawaban bahwa tahun 2010  akan diselenggarakan workshop Standarisasi Alqur’an Braille (kemungkinan kaidah penulisan hamzah termasuk agenda materi workshop)
Workshop Standarisasi Alqur’an Braille diselenggarakan oleh BPBI di hotel Perdana Wisata Bandung tanggal 8 sampai 11 Februari 2010. Workshop  dihadiri / diikuti oleh  Kementerian Sosial, Majlis Lajnah Kementerian Agama, semua penerbit Alqur’an Braille di Indonesia dan beberapa tokoh tunanetra. Peserta warkshop cukup representatip, mewakili unsur pemerintah, penerbit dan masyakat pengguna Alqur’an Braille. Workshop menghasilkan keputusan dan sejumlah rekomendasi. Hasil keputusan direkomendasikan untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari KMA 25/1984 tentang Penetapan Mushaf Alqur’an standard. 
Pada tanggal 29-31 Desember tahun 2010  ITMI menyelenggarakan Lokakarya di Wisma Tanah Air Jakarta dihadiri oleh Majlis Lajnah Pentashih Mushaf Alqur’an Kementerian Agama dan BPBI Abiyoso Kementerian Sosial, Perwakilan Dewan Pimpinan Wilayah dan Dewan Pimpinan Daerah  ITMI seluruh Indonesia serta perwakilan seluruh penerbit Alqur’an Braille Indonesia. Hasil Semiloka, mendukung dan menerima hasil workshop Standarisasi Alqur’an dengan catatan penulisan hamzah dalam syaian ditulis dengan hamzah nabroh dan penulisan fathahtanwin ditulis sesudah huruf alif. 
Pada tahun 2011, Majlis Lajnah Pentashihan Alqur'an membuat buku pedoman penulisan Alqur’an Braille dengan membentuk tim. Tim terdiri dari 22 orang, tunanetra terwakili oleh 3 orang, ketiganya dari Bandung yaitu H. Aan Zuhana,  Yayat Rukhyat, S. Pd. dan Ridwan Efendi, M. Ag. Dalam hal ini Yaketunis tidak diundang. Begitu juga tunanetra dari luar Bandung tidak ada yang diundang. (Menurut informasi saudara Yayat Ruhyat, S.Pd.(Ketua Umum ITMI), beliau berangkat bukan atas nama Ketua Umum ITMI tetapi karena dia menyusun  buku. Hasilnya adalah Buku pedoman Membaca dan Menulis Al_qur’an Braille  dengan editor H.M. Shohib, MA  dilaunching di akhir tahun 2011 dan dilaunching pula juz 30 dengan terjemahannya.
Menanggapi dilaunchingnya buku pedoman tersebut, Yaketunis mengirimkan Catatan penting Terhadap Buku pedoman Membaca dan Menulis Alqur’an Braille  yang diterbitkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Alqur’an tersebut. Namun pada akhirnya catatan penting tersebut tidak berpengaruh terhadap buku pedoman yang kemudian dipakai sebagai dasar penulisan dan pentashihan Alqur’an Braille Indonesia.
Tahun 2012 dilaksanakan pentashihan dengan mengundang Yaketunis. Berhubung Yaketunis tidak ikut dalam penyusunan buku pedoman maka Yaketunis menyampaikan pandangannya: “Sebaiknya Alqur‘an Braille mengikuti Internasional yang lebih mudah untuk dibaca oleh tunanetra. Sedangkan rasm Utsmani banyak penulisan hamzah tanpa tumpangan (titik 3) dan huruf ini dalam berbagai posisi sulit dibaca, lebih-lebih jika hamzah (titik 3) diikuti huruf maad wawu atau ya. Huruf hamzah tersebut mirip dengan tasydid (titik 6)”. Contoh kasus, pernah terjadi pada Pangirono (tunanetra yang tinggal di Kedoya Jakarta Barat) waktu membaca Alqur’an surat al-Muzammil ayat 20 melalui Hand Phone, dia membaca faqra’uu ( F1Q3R1'WA ) dibaca Faqrowwa (F1Q3R1,WA )dan diminta untuk mengulang tetapi bacaannya tetap sama,  sedangkan ketika diminta mengeja dia menyebutkan fa fathah alif qof sukun ra fathah tasydid wawu alif.    Pandangan dari Yaketunis ini  tidak diterima pada saat itu, sebab buku telah selesai disusun dan telah dilaunching. Ridwan Efendi (tunanetra) mengemukakan :  adanya kesulitan jika dilatih dan dibiasakan nanti akan mudah dan lancar”. H. Aan Zuhana (tunanetra) menambahkan bahwa sulit itu relatif.
Yaketunis dengan lapang dada menerima Alqur’an Braille Utsmani berdasarkan buku pedoman tersebut dengan harapan agar 15 kalimah yang tidak ditulis dengan rasm Usmani dapat ditinjau kembali sehingga Alqur’an Braille tersebut mengikuti rasm utsmani  kecuali yang benar-benar tidak dapat ditulis dengan huruf Braille rasm Utsmani. Bahkan bila dipaksakan akan menimbulkan salah baca. Menurut pengamatan Yaketunis, hanya dua kata dalam rasm Utsmani jika ditransfer dalam Braille menimbulkan salah bacaan yaitu arriba (AL,REBA) kemungkinan bisa dibaca arribaawa  (AL,REB@WA )(surat al Baqarah ayat 275) dan wajia  ( W1JI['1) bisa terbaca menjadi waji’iia(  W1JEAI['1) (surat al-Fajr ayat 23)
Akhirnya, Dewan Lajnah menerima, hal ini sebagaimana  yang disampaikan oleh H. Aan Zuhana bahwa beliau menyatakan gembira dan mengatakan ini sebagai islah. Yaketunis menyetujui ishlah walaupun istilah itu kurang tepat. Lebih  tepat dikatakan, Yaketunis menerima dan menyetujui Alqur‘an Braille Utsmani dengan harapan seperti yang pernah disampaikan oleh Zaini, S.Th. I bahwa kemungkinan  empat atau lima tahun mendatang dapat ditinjau kembali.
Selanjutnya pentashihan dilaksanakan dengan seksama, teliti dan hati- hati. Pentashihan dilakukan dua kali untuk menjaga kemungkinan masih ada kekeliruan yang belum diketemukan pada pentashihan pertama. Pada tahun 2012 diselesaikan pentashihan 15 juz yaitu  juz 1 s/d 15. Kemudian pada tahun 2013 ditashih juz 16 s/d 30 dan dilaunching pada tanggal 5 Desember 2013.
Dalam acara Launching tersebut, Kepala Balitbang dan Diklat Prf. DR H. Mahasin  antara lain mengatakaan, bahwa dengan adanya Alqur’an Braille yang akan dilaunching ini berarti tunanetra memiliki satu Alqur’an Braille yang sebelumnya ada versi, versi Wyata Guna Bandung dan versi Yaketunis Yogyakakarta.
Kemudian Sekjen Kementrian Agama dalam melaunching Alqur’an braille tersebut juga menyatakan bahwa beliau bergembira, bersyukur dengan disatukannya  Alqur’an braille dan mudah mudahan digunakan oleh tunanetra Indonesia  dan bermanfaat bagi tunanetra  di seluruh dunia.
Setelah acara launching, dilangsungkan penyerahan  Alqur’an secara simbolis kepada tunanetra yang diwakili oleh lima orang, yaitu  dari Yaketunis, Yayasan Raudlatul Makfufin, Yayasan Penyantun Wyataguna,  BPBI Abiyoso dan dari ITMI
M. Nadjamuddin atas nama wakil Yaketunis menerima Alqur’an Braille Utsmani yang diberikan oleh Sekjen Kementrian Agama tersebut merasa bersyukur dan bergembira. Alqur’an yang baru ini diharapkan tidak terdapat kesalahan lagi. Dengan ini diharapkan pula tunanetra lebih tenang, lebih tekun dalam belajar dan tadarus Alqur’an.
Umat Islam memiliki dua Alqur’an: Alqur’an Utsmani dan Alqur’an Bahriyah. Sekarang tunanetra telah memiliki Alqur’an Braille Utsmani yang baru dilaunching. Bagi tunanetra kiranya perlu juga diterbitkan Alqur’an Bahriyah Braille untuk kesetaraan tunantra dengan ummat Islam pada umumnya.
Alhamdulillah dengan tersusunya tulisan ini semoga dapat diketahui sejarah alqur’an braille yang benar dan dapat digunakan untuk menentukan  sikap  yang benar. Kritik dan teguran senantiasa diharapkan  demi kebenaran tulisan ini. Terima kasih.
Yogyakarta, 1 Januari 2014
Tim Penerbitan Alqur’an
Yaketunis Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar